Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang bila dilanggar akan menimbulkan sanksi tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian, sumber ajaran Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman ajaran Islam. Sumber ajaran Islam juga menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam Islam.
Ada tiga sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, yakni Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad.
Ketiga sumber ajaran Islam itu dinyatakan oleh Allah SWT dalam Al-Quran Surat An-Nisa:59.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”.
Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam Hadis, dan kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan (para ulama).
Ayat tersebut diperkuat sabda Rasulullah SAW"
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.”
1. Al-Quran
Al-Quran disebut juga Kitabullah dan banyak sebutan lainnya. Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.
Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan, peribadahan, dan budi pekerti.
Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.
Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan dilihat langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa takjub terhadap kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT memberikan mukjizat Al-Quran yang kekal abadi sepanjang zaman sehingga dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua zaman dan tempat sampai akhir nanti.
Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya…” (Q.S. 35:31).
2. Hadits
Hadits atau As-Sunnah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).
“Kutinggalkan untuk kaliam dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya, yakni Kitabullah (Quran) dan Sunnah Rasul-Nya”.
“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).
Fungsi hadits secara garis besar ada tiga:
1. Sebagai penguat ajaran Islam yang ada di dalam Al-Quran
2. Sebagai penjelas hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur an
3. Sebagai pembawa hukum baru yang tidak tertulis tegas dalam Al-Qur an.
3. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebutMujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw. Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
Sumber:
Dengan demikian, sumber ajaran Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman ajaran Islam. Sumber ajaran Islam juga menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam Islam.
Ada tiga sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, yakni Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad.
Ketiga sumber ajaran Islam itu dinyatakan oleh Allah SWT dalam Al-Quran Surat An-Nisa:59.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”.
Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam Hadis, dan kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan (para ulama).
Ayat tersebut diperkuat sabda Rasulullah SAW"
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.”
1. Al-Quran
Al-Quran disebut juga Kitabullah dan banyak sebutan lainnya. Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.
Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan, peribadahan, dan budi pekerti.
Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.
Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan dilihat langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa takjub terhadap kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT memberikan mukjizat Al-Quran yang kekal abadi sepanjang zaman sehingga dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua zaman dan tempat sampai akhir nanti.
Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya…” (Q.S. 35:31).
2. Hadits
Hadits atau As-Sunnah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).
“Kutinggalkan untuk kaliam dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya, yakni Kitabullah (Quran) dan Sunnah Rasul-Nya”.
“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).
Fungsi hadits secara garis besar ada tiga:
1. Sebagai penguat ajaran Islam yang ada di dalam Al-Quran
2. Sebagai penjelas hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur an
3. Sebagai pembawa hukum baru yang tidak tertulis tegas dalam Al-Qur an.
3. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebutMujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw. Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
- Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
- Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
- Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya.
Salah satu metode ijtihad yang kerap melahirkan Ijma' Ulama adalah Qiyash, yaitu upaya menggali hukum dengan menyamakan kasus tertentu dengan kasus lain yang sudah ada hukumnya dalam sumber asli karena adanya kesamaan alasan tertentu. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).*
- Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989.
- H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985.
Tags:
Inilah Islam