Pengertian Bid'ah yang Sebenarnya

Bid’ah itu mengada-adakan dalam urusan agama (ibadah), lebih pada soa praktik ibadah seperti syarat, rukun, tata cara, dan bacaan-bacaan. Jika kita menambah syarat, rukun, tata cara, dan bacaan, itulah bid’ah. Kita harus beribadah persis seperti yang dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya, tanpa menambah atau mengurangi.

Secara bahasa, bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira ‘, artinya mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya, seperti yang dijelaskan dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi: “Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu”.

Definisi Bid’ah Menurut Ulama
Para ulama memberikan beberapa definisi bid’ah, redaksinya berbeda-beda, namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
  • Ibnu Taimiyah: bid’ah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah, namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan.
  • Imam Syathibi: bid’ah adalah satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.
  • Ibnu Rajab: bid’ah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat, maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bid’ah secara bahasa.
  • Imam as-Suyuthi: bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
Semua bid’ah itu sesat. Sabda Nabi Saw: “Kullu bid’atin dhalalah”, setiap bid’ah itu sesat. “Kullu” artinya tiap-tiap alias semuanya. Sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat.

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Muslim).

Istilah bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) itu dari Imam Syafi’i. Ar-Rabbi rahimahullah: “Telah berkata as-Syafi’ie rahimahullahu Ta’ala: perkara-perkara yang diadakan terbagi dua: yang pertama apa yang di buat bertentangan dengan al-Kitab (al Qur’an), Sunnah, Ijma atau atsar, maka inilah bid’ah yang sesat. Kedua apa yang di buat berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari perkara (al Qur’ah, Sunnah, Ijma, dan atu atsar) maka itu perbuatan yang tidak tercela.”

Yang dimaksudkan Imam Syafi’i ialah bid’ah dari segi bahasa (lughah), bukan dari segi syara’ atau dalam persoalan agama. Imam Syafi’i sendiri menegaskan: “Apabila kamu temui di dalam Kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berkatalah (ambil/peganglah) kamu dengan sunnah tersebut dan hendaklah kamu tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Pendapat Imam Syafi’i soal bi’dah yang baik itu, berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khothob ketika mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih berjamaah. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari).

Menurut para ulama, shalat tarawih ala Umar bukanlah bid’ah secara syariat, karena Rasulullah pun pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam, sehingga yang dimaksudkan “bid’ah yang baik” dari perkataan Umar itu secara bahasa, dan bukan bid’ah secara syar’i.
Bid'ah di kalangan umat sulit diberantas karena ahli bid'ah (pelaku bid'ah) merasa atau menganggap yang dilakukannya adalah benar dan baik. Akibatnya, ketika diberi tahu atau dikoreksi bahwa yang dilakukannya bid'ah, mereka akan "melawan" dan "berdebat". 
Memberantas bid'ah, dengan demikian, lebih sulit ketimbang memberantas kemaksiatan, karena pelaku maksiat sebenarnya menyadari bahwa yang dilakukannya salah, sedangkan ahli bid'ah merasa yang dilakukannya benar. Bagaimana mungkin bisa menasihati orang yang merasa benar? Wallahu a'lam bish-shawab.*
Previous Post Next Post