* Hukum Memakai Serban dan Jubah
SERBAN --sering disebut juga "surban" atau "sorban"-- adalah kain ikat kepala yang lebar (yang dipakai oleh orang Arab, jamaah haji, dsb). Banyak umat Islam, khususnya ustadz dan aktivias gerakan Islam, mengenakan serban, entah untuk identitas atau untuk alasan "mengikuti tradisi orang Arab".
Serban juga bukanlah sesuatu yang dituntut oleh sunnah Rasulullah Saw. Namun, memakainya bukanlah pula sesuatu yang tercela atau dilarang. Ia adalah diharuskan disisi syara'.
Menurut pakar Ilmu Hadits yang menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, mengenakan serban dan jubah bisa masuk kategori pakaian syuhrah yang haram dipakai. Menurutnya, dalam sebuah tulisan di Republika Online, Serban dan Jubah Haram.
Prof. Ali memaparkan, dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SWT akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.”
Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai penduduk negeri di mana pemakainya tinggal.
Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk.
Ketika pakaian itu berbeda dengan yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum’ah, dan lain sebagainya.
Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis serban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu.
Pada abad lalu, serban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai serban. Maka pada masa itu, serban sudah menjadi tradisi para ulama.
Karenanya, sah-sah saja, ulama memakai serban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi. Memang, dalam hadis yang sahih, Nabi SAW memakai serban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan serban.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda, ”Perbedaan antara serban kita dengan serban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.”
Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti besar Syekh bin Baz rahimahullah, Mufti besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syekh Shaleh bin Muhammad al-‘Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat memakai serban bukan merupakan ibadah.
Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai serban. Semua hadis tentang keutamaan memakai serban adalah hadis-hadis palsu.
Menurut para ulama itu, sunah Nabi dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah negeri, kita boleh memakai pakaian negeri kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Mekah.
Dalam acara Mahrajan (Festival) Wali-wali Jawi, Gus Mus menyampaikan, saat ini banyak mubaligh yang sudah tidak memahami dakwah mengajak. Artinya, saat ini dakwah di Indonesia tidak lagi sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad.
“Lebih sering mengafirkan dari pada dakwah bil hikmah,” ujar Gus Mus dalam sarasehan bertajuk Manapak Jejak Auliya, Meneladani Kearifan Mengajak, di Pendopo Kabupaten Demak, Sabtu (22/2/2014), seperti dikutip jaringnews.com.
Bahkan, Gus Mus menilai, pakian jubah dan serban yang dilabeli sebagai pakaian Islam merupakan bentuk "kapitalisasi Islam". Pasalnya, Islam Kapitalis menjadikan Islam Arabia tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. "Semestinya para mubaligh menempatkan Islam sebagaimana yang dilakukan para wali yang menghargai budaya lokal," tegasnya.
Kaum Quraisy biasa memanggil Abu Jahal dengan sebutan Abul Hakam. Nama lengkapnya Abu Jahal bin Hisyam. Ia adalah sosok terpandang di kalangan kabilah Quraisy. Abu Jahal adalah kafir Quraisy yang selalu menghalang-halangi dan memusuhi Nabi Muhammad Saw. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).*
SERBAN --sering disebut juga "surban" atau "sorban"-- adalah kain ikat kepala yang lebar (yang dipakai oleh orang Arab, jamaah haji, dsb). Banyak umat Islam, khususnya ustadz dan aktivias gerakan Islam, mengenakan serban, entah untuk identitas atau untuk alasan "mengikuti tradisi orang Arab".
Serban juga bukanlah sesuatu yang dituntut oleh sunnah Rasulullah Saw. Namun, memakainya bukanlah pula sesuatu yang tercela atau dilarang. Ia adalah diharuskan disisi syara'.
Serban merupakan pakaian uruf (adat) bagi kaum Arab. Rasulullah Saw dan para sahabah dari kalangan kaum Arab dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka untuk memakai serban atau penutup kepala. Tambahan suatu masa dahulu membuka kepala bagi masyarakat arab lelaki merupakan suatu keaiban bagi mereka.
Menurut pakar Ilmu Hadits yang menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, mengenakan serban dan jubah bisa masuk kategori pakaian syuhrah yang haram dipakai. Menurutnya, dalam sebuah tulisan di Republika Online, Serban dan Jubah Haram.
Prof. Ali memaparkan, dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SWT akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.”
Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai penduduk negeri di mana pemakainya tinggal.
Disebut pakaian syuhrah (popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-orang.
Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk.
Ketika pakaian itu berbeda dengan yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum’ah, dan lain sebagainya.
Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan hadis ini, para ulama sepakat pakaian syuhrah adalah haram dikenakan.
Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis serban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu.
Pada abad lalu, serban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai serban. Maka pada masa itu, serban sudah menjadi tradisi para ulama.
Karenanya, sah-sah saja, ulama memakai serban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi. Memang, dalam hadis yang sahih, Nabi SAW memakai serban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan serban.
Maka, serban (membungkus kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai serban.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda, ”Perbedaan antara serban kita dengan serban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.”
Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti besar Syekh bin Baz rahimahullah, Mufti besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syekh Shaleh bin Muhammad al-‘Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat memakai serban bukan merupakan ibadah.
Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai serban. Semua hadis tentang keutamaan memakai serban adalah hadis-hadis palsu.
Menurut para ulama itu, sunah Nabi dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah negeri, kita boleh memakai pakaian negeri kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Mekah.
Gus Mus: Serban dan Jubah Bukan Pakaian Islam
Hal senada dikemukakan tokoh ulama NU dari Jombang KH Musthofa Bisri alias Gus Mus. Sejatinya, kata Gus Mus, serban dan jubah adalah pakaian ala Timur Tengah, Arab. Bukan pakaian Islam. Hal itu disampaikan kyai yang biasa disapa Gus Mus di hadapan ratusan kyai dan tokoh agama se-Jawa Tengah.Dalam acara Mahrajan (Festival) Wali-wali Jawi, Gus Mus menyampaikan, saat ini banyak mubaligh yang sudah tidak memahami dakwah mengajak. Artinya, saat ini dakwah di Indonesia tidak lagi sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad.
“Lebih sering mengafirkan dari pada dakwah bil hikmah,” ujar Gus Mus dalam sarasehan bertajuk Manapak Jejak Auliya, Meneladani Kearifan Mengajak, di Pendopo Kabupaten Demak, Sabtu (22/2/2014), seperti dikutip jaringnews.com.
Bahkan, Gus Mus menilai, pakian jubah dan serban yang dilabeli sebagai pakaian Islam merupakan bentuk "kapitalisasi Islam". Pasalnya, Islam Kapitalis menjadikan Islam Arabia tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. "Semestinya para mubaligh menempatkan Islam sebagaimana yang dilakukan para wali yang menghargai budaya lokal," tegasnya.
“Jubah dan Sorban itu bukan pakaian Islam, tetapi pakaian Arab. Kenapa Nabi Muhammad memakai jubah dan berjenggot, ya, karena beliau hidup di kebudayaan Arab,” urai Gus Mus. “Abu Jahal pun pakai sorban dan jubah,” tandas Gus Mus.
Kaum Quraisy biasa memanggil Abu Jahal dengan sebutan Abul Hakam. Nama lengkapnya Abu Jahal bin Hisyam. Ia adalah sosok terpandang di kalangan kabilah Quraisy. Abu Jahal adalah kafir Quraisy yang selalu menghalang-halangi dan memusuhi Nabi Muhammad Saw. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).*
Tags:
Muamalah