Mengenal Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Tarikat Qadariah
NAMA tokoh ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sudah tidak asing lagi bagi kita dan dikenal luas oleh masyarakat kita, khususnya oleh kalangan pesantren tradisonal di desa-desa.
NAMA tokoh ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sudah tidak asing lagi bagi kita dan dikenal luas oleh masyarakat kita, khususnya oleh kalangan pesantren tradisonal di desa-desa.
Biografi lengkapnya dalam Manakib Abdul Qadir al-Jailani dibaca banyak orang, terutama pada hari-hari penting, seperti hari Asyura (tanggal 10 Muharram), tanggal 27 Rajab, hari Nisfu Sya'ban (pertengahan bulan Sya'ban), dan hari pertama bulan Safar.
Al-Jailani yang juga dikenal dengan nama Sayid Abdul Qadir al-Jili ini adalah seorang teolog, ulama yang ahli dalam bidang ushul-fiqh madzhab Hambali, sufi termasyhur pada zamannya, dan pendiri Tarikat Qadariah, serta terkenal dengan gelar "Bare Pir Sahib" (Orang Suci yang Agung).
Al-Jailani yang juga dikenal dengan nama Sayid Abdul Qadir al-Jili ini adalah seorang teolog, ulama yang ahli dalam bidang ushul-fiqh madzhab Hambali, sufi termasyhur pada zamannya, dan pendiri Tarikat Qadariah, serta terkenal dengan gelar "Bare Pir Sahib" (Orang Suci yang Agung).
Selain itu, ia juga dikenal sebagai Muhyiddin (pemurni agama) karena kemampuannya yang luar biasa dalam membawa harmoni antara syari'at dan tarikat, menyeimbangkan antara spiritualisme dan rasionalisme, dan meluruskan umat Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Tarikat Qadariah yang didirikan al-Jailani berpusat di Bagdad (Irak), cabang-cabangnya tersebar di mancanegara termasuk Indonesia. Tarikat ini bahkan menjadi semacam suatu organisasi atau pergerakan.
Sayid Abdul Qadir al-Jailani yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Zangi Dost al-Jailani ini termasuk keturunan atau cucu Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Itulah mengapa ia memakai nama gelar "sayid" di depan namanya.
Al-Jailani lahir pada 1 Ramadhan 470 H/1077 M di Jilan, Iran, dari keluarga yang dikenal kesalehannya dalam beragama. Ayahnya, Abu Shalih, merupakan seorang sufi. Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah as-Sauma'i. Fatimah melahirkan al-Jailani pada usia 60 tahun, usia yang cukup lanjut. Itulah mengapa kelahiran al-Jailani dipandang sebagai "berkah Tuhan".
Sayid Abdul Qadir al-Jailani yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Zangi Dost al-Jailani ini termasuk keturunan atau cucu Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Itulah mengapa ia memakai nama gelar "sayid" di depan namanya.
Al-Jailani lahir pada 1 Ramadhan 470 H/1077 M di Jilan, Iran, dari keluarga yang dikenal kesalehannya dalam beragama. Ayahnya, Abu Shalih, merupakan seorang sufi. Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah as-Sauma'i. Fatimah melahirkan al-Jailani pada usia 60 tahun, usia yang cukup lanjut. Itulah mengapa kelahiran al-Jailani dipandang sebagai "berkah Tuhan".
Ahli Pidato
Sejak kecil, al-Jailani telah nampak berbeda dari anak-anak seusianya. Ia tidak suka bermain dengan anak-anak lain. Ditempa dalam keluarga sufi, ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya.Hingga berusia 17 tahun, ia menimba ilmu agama dan menempa diri di lingkungan keluarganya yang saleh itu. Ketika berusia 18 tahun al-Jailani dikirim ke Bagdad, Irak, untuk menuntut ilmu lebih tinggi lagi. Di Bagdad --pusat pendidikan Islam pada masa itu-- ia mendalami fiqh madzhab Imam Hambali dari Abu Sa'd Mubarak al-Mukharrimi, pemimpin sekolah hukum Hambali.
PADA tahun 521 H/1127 M al-Jailani mulai mengajarkan dan berfatwa dalam madzhab tersebut pada masyarakat luas. Aktivitasnya itu mendapat restu dari seorang sufi besar masa itu, Yusuf al-Hamadani. Al-Jailani kemudian menetap di Bagdad dan mengabdikan hidupnya bagi syi'ar Islam dan kemanusiaan. Ia dianugerahi lidah yang lancar dan fasih sebagai orator (ahli pidato).
PADA tahun 521 H/1127 M al-Jailani mulai mengajarkan dan berfatwa dalam madzhab tersebut pada masyarakat luas. Aktivitasnya itu mendapat restu dari seorang sufi besar masa itu, Yusuf al-Hamadani. Al-Jailani kemudian menetap di Bagdad dan mengabdikan hidupnya bagi syi'ar Islam dan kemanusiaan. Ia dianugerahi lidah yang lancar dan fasih sebagai orator (ahli pidato).
Ceramah-ceramahnya yang sarat pengajaran duniawi dan ukhrowi atau keruhanian menarik banyak pengunjung, dapat mencapai 70-80 ribu hadirin yang hadir setiap kali ia berceramah. Para pejabat tinggi Khilafah Islam Bani Abbasiyah (Bagdad), termasuk khalifahnya sendiri, tak ketinggalan mengikuti ceramah-ceramahnya. Bahkan, banyak non-Muslim yang masuk Islam setelah mendengar ceramah al-Jailani.
Ketika terjadi konflik hebat antara penganut fanatik paham rasionalisme mu'tazilah yang sangat mengutamakan penggunaan akal dalam masalah keagamaan dan paham spiritualisme ekstrem Mansur al-Hallaj, al-Jailani mengambil jalan tengah dan mengharmoniskan kedua paham itu dalam dirinya.
Ketika terjadi konflik hebat antara penganut fanatik paham rasionalisme mu'tazilah yang sangat mengutamakan penggunaan akal dalam masalah keagamaan dan paham spiritualisme ekstrem Mansur al-Hallaj, al-Jailani mengambil jalan tengah dan mengharmoniskan kedua paham itu dalam dirinya.
Dalam dirinya, syari'at dan tarikat diwujudkan secara sempurna. Pribadinya menunjukkan keseimbangan antara kedua kedua hal itu. Ia menyeru murid-muridnya agar untuk bekerja keras dalam kehidupan. Tarikat, kata al-Jailani, tidaklah berarti meninggalkan kehidupan duniawi. Ia pernah berkata, "Sembahlah Allah.... (dan) mintalah pertolongan agar diberikan kerja yang halal untuk memperkuat ibadah kepada-Nya."
Al-Jailani menempuh hidup sederhana, saleh, dan teratur. Hari-harinya diisi dengan aktivitas ceramah tentang ke-Islaman. Malam hari ia lebih banyak bermeditasi. Hidupnya merupakan contoh kesederhanaan, tidak mementingkan diri sendiri, dan jujur. Makanannya sederhana, dimasak tanpa menggunakan lemak apa pun. Ia dikenal ramah terhadap rakyat biasa, menerapkan sabda Nabi SAW: "Orang yang terbaik ialah yang paling mencintai dan mengabdi pada kemanusiaan."
Kesalehan, kerendahan hati (wara), dan integritas pribadi yang utuh (memadukan iman, ilmu, dan amal) yang terdapat dalam diri al-Jailani membuatnya banyak disanjung orang. Ada yang mengatakan, al-Jailani pantas mendapat julukan wali qutub (pemimpin para wali).
Al-Jailani menempuh hidup sederhana, saleh, dan teratur. Hari-harinya diisi dengan aktivitas ceramah tentang ke-Islaman. Malam hari ia lebih banyak bermeditasi. Hidupnya merupakan contoh kesederhanaan, tidak mementingkan diri sendiri, dan jujur. Makanannya sederhana, dimasak tanpa menggunakan lemak apa pun. Ia dikenal ramah terhadap rakyat biasa, menerapkan sabda Nabi SAW: "Orang yang terbaik ialah yang paling mencintai dan mengabdi pada kemanusiaan."
Kesalehan, kerendahan hati (wara), dan integritas pribadi yang utuh (memadukan iman, ilmu, dan amal) yang terdapat dalam diri al-Jailani membuatnya banyak disanjung orang. Ada yang mengatakan, al-Jailani pantas mendapat julukan wali qutub (pemimpin para wali).
Yang lainnya mengatakan, al-Jailani hidup di tengah masyarakat yang materialis, cinta dunia, haus kekuasaan atau pangkat/jabatan, namun ia menjauhi semua itu. Malahan, ia menghadapinya dengan memberikan nasihat, dakwah, bimbingan, dan pendidikan untuk perbaikan jiwa umat Islam dan membersihkan jiwa mereka dari paham-paham dan perilaku sesat.
Buku-buku karya al-Jailani
Buku-buku karya Abdul Qadir al-Jailani antara lain:- Futuh al-Ghaib (Terbukanya Hal-hal Gaib) yang berisi tentang mistisisme dan merupakan kumpulan khutbahnya (dihimpun oleh anaknya, Abdur Razaq)
- Al-Gunya lit-Thalibi Tariq al-Haqq (Bekal yang Cukup bagi Pencari Jalan yang Benar) yang secara komprehensif membahas prinsip syari'at dan tarikat
- Al-Fath ar-Rabbani (Pembuka Ketuhanan) atau Sittin Majalis (Enam Puluh Majelis) yang berisi himpunan ceramah dan wacana ilmiah al-Jailani.
Tags:
Tokoh Islam