Nikah Siri adalah nikah secara diam-diam atau dirahasiakan. Kata Siri berasal dari bahasa Arab, Sirr, yang artinya rahasia.
Dalam kamus bahasa Indonesia, siri artinya (1) sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam masyarakat Bugis; (2) keadaan tertimpa malu atau terhina dl masyarakat Bugis dan Makassar.
Masyarakat memahami Nikah Siri sebagai sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) alias "nikah di bawah tangan". Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama, tapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara).
Ada juga pemahaman, nikah siri adalah nikah tanpa wali pihak istri. Jika nikah siri tanpa wali begini, maka hukumnya tidak sah baik secara agama maupun secara hukum negara.
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR. Khomsah).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil (tidak sah); pernikahannya batil; pernikahannya batil”. (HR Khomsah).
Jika nikah tanpa dicatat negara (KUA) alias diam-diam, namun ada wali sah, menurut syariat Islam itu sah selama memenuhi Rukun Nikah:
Risalah Islam mengajarkan, pernikahan harus diumumkan dan sebagai “alat bukti” (bayyinah) sudah sah sebagai pasangan suami-istri sekaligus menghindari fitnah.
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan Walimatul ‘Ursy. “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Nikah Siri banyak risikonya, seperti dalam kasus sengketa pernikahan, hak waris, dan sebagainya yang diurus oleh pengadilan agama –karena tidak ada “alat bukti” buku nikah. Jika ada buku nikah, padahal nikah tidak di KAU, maka dipastikan buku nikahnya palsu dan ini sebuah kebohongan/penipuan yang hukumnya berdosa. Wallahu a’lam bish-shawab.*
Dalam kamus bahasa Indonesia, siri artinya (1) sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam masyarakat Bugis; (2) keadaan tertimpa malu atau terhina dl masyarakat Bugis dan Makassar.
Masyarakat memahami Nikah Siri sebagai sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) alias "nikah di bawah tangan". Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama, tapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara).
Ada juga pemahaman, nikah siri adalah nikah tanpa wali pihak istri. Jika nikah siri tanpa wali begini, maka hukumnya tidak sah baik secara agama maupun secara hukum negara.
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR. Khomsah).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil (tidak sah); pernikahannya batil; pernikahannya batil”. (HR Khomsah).
Jika nikah tanpa dicatat negara (KUA) alias diam-diam, namun ada wali sah, menurut syariat Islam itu sah selama memenuhi Rukun Nikah:
- Ada Wali,
- Dua orang saksi,
- Ijab qabul.
Risalah Islam mengajarkan, pernikahan harus diumumkan dan sebagai “alat bukti” (bayyinah) sudah sah sebagai pasangan suami-istri sekaligus menghindari fitnah.
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan Walimatul ‘Ursy. “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Nikah Siri banyak risikonya, seperti dalam kasus sengketa pernikahan, hak waris, dan sebagainya yang diurus oleh pengadilan agama –karena tidak ada “alat bukti” buku nikah. Jika ada buku nikah, padahal nikah tidak di KAU, maka dipastikan buku nikahnya palsu dan ini sebuah kebohongan/penipuan yang hukumnya berdosa. Wallahu a’lam bish-shawab.*