Ilustrasi Sufisme: IslamiCity |
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah..." (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Setibanya di Yerusalem, alangkah kagetnya ia ketika mengetahui ada satu biji kurma yang terbawa. Kurma itu secara tidak sengaja terbawa, padahal tidak termasuk dalam timbangan yang dibelinya.
Karena ke-wara’-annya, ia pun kembali dari Yerusalem ke Basrah yang jaraknya ratusan kilometer. Ia menempuh perjalanan jauh itu, hanya untuk mengembalikan sebiji kurma yang tidak sengaja terbawa!
Bagi orang wara’ semacam Ibrahim bin Adham, sebiji kurma tadi bukanlah perkara kecil. Kurma tadi termasuk makanan yang belum jelas halal-haramnya (syubhat).
Karena ke-wara’-annya, ia pun kembali dari Yerusalem ke Basrah yang jaraknya ratusan kilometer. Ia menempuh perjalanan jauh itu, hanya untuk mengembalikan sebiji kurma yang tidak sengaja terbawa!
Bagi orang wara’ semacam Ibrahim bin Adham, sebiji kurma tadi bukanlah perkara kecil. Kurma tadi termasuk makanan yang belum jelas halal-haramnya (syubhat).
Sikap yang paling aman terhadap hal yang syubhat adalah meninggalkannya atau mengabaikannya. Nabi Saw berabda, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram (H.R. Muttafaq ‘Alaih).
Seorang Muslim yang memiliki sifat wara’ akan menjauhkan diri dari masalah-masalah yang syubhat, apalagi yang sudah jelas-jelas keharamannya (pasti akan dijauhinya). Allah SWT memang memerintahkan kita untuk memakan makanan halalan thayibah, halal lagi baik (Q.S. 2:168, 5:88, 8:69, 16:114).
Wara’ Menentukan "Nasib" Amal
Sikap wara’ menentukan "nasib" amal kebajikan kita. Akan berkurang nilainya, bahkan sia-sia, amal saleh kita jika tidak dibarengi sikap wara’.
Nabi Saw menegaskan, "Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, 'Barangsiapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan fardhunya'."
Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar --seperti dikutip Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba'in fi Ushuliddin-- memperkuat: "Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’."
Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar --seperti dikutip Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba'in fi Ushuliddin-- memperkuat: "Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’."
4 Tingkatan Wara'
Tingkatan ke-wara’-an dalam agama, menurut Imam al-Ghazali, ada empat, yaitu:
Pertama, wara’ yang dapat menjamin dirinya terhindar dari kefasikan, dan bisa menghapus keadilan jika wara’ itu hilang.
Kedua, tingkatan wara’ orang-orang saleh, yaitu menghindari hal-hal yang lebih mirip perkara yang diharamkan agama, sekalipun oleh sebagian ulama hal tersebut dibolehkan. Sikap ini sesuai hadits Nabi Saw, "Tinggalkan yang meragukan Anda kepada yang tidak meragukan Anda!"
Ketiga, tingatan wara’ orang-orang yang yakin. Nabi Saw bersabda, "Seseorang tidak akan mencapai derajat takwa, sehingga bersedia meninggalkan yang tidak buruk karena khawatir terjerumus pada yang buruk". Umar bin Khattab berkata, "Kami terbiasa meninggalkan sembilan dari sepuluh harta yang halal, karena khawatir terjerumus kepada harta yang haram".
Keempat, tingkatan wara’ dari orang-orang yang jujur (shiddiqin), yaitu menghindari segala hal yang sekiranya tidak akan bermanfaat untuk upaya taat kepada Allah SWT, karena terkadang faktor-faktornya bisa menjerumus pada kemaksiatan.
Pertama, wara’ yang dapat menjamin dirinya terhindar dari kefasikan, dan bisa menghapus keadilan jika wara’ itu hilang.
Kedua, tingkatan wara’ orang-orang saleh, yaitu menghindari hal-hal yang lebih mirip perkara yang diharamkan agama, sekalipun oleh sebagian ulama hal tersebut dibolehkan. Sikap ini sesuai hadits Nabi Saw, "Tinggalkan yang meragukan Anda kepada yang tidak meragukan Anda!"
Ketiga, tingatan wara’ orang-orang yang yakin. Nabi Saw bersabda, "Seseorang tidak akan mencapai derajat takwa, sehingga bersedia meninggalkan yang tidak buruk karena khawatir terjerumus pada yang buruk". Umar bin Khattab berkata, "Kami terbiasa meninggalkan sembilan dari sepuluh harta yang halal, karena khawatir terjerumus kepada harta yang haram".
Keempat, tingkatan wara’ dari orang-orang yang jujur (shiddiqin), yaitu menghindari segala hal yang sekiranya tidak akan bermanfaat untuk upaya taat kepada Allah SWT, karena terkadang faktor-faktornya bisa menjerumus pada kemaksiatan.
Imam Nawawi berkata, “Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi Saw: “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarah Muslim).
Semoga kita bisa bersikap Wara' sehingga menjadi sebaik-baik ahli ibadah. Amin...! Wallahu a’lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com)*