Bagaimana Keadaanmu? Apa kabarnya? Kaifa haluk? How are you? adalah ungkapan sapaan yang bisa kita dengar ketika bertemu sahabat atau kerabat yang lama tidak jumpa, bahkan teman atau relasi yang baru kenal. Bagaimana cara menjawab pertanyaan "apa kabar" secara Islami?
ISHAK bin Abdullah bin Abi Thalhah menceritakan, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki ke hadapan Rasulullah Saw. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rasul kepada orang itu.
"Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah untukmu, wahai Nabi!" jawab orang itu. Mendengar jawaban tersebut, Rasul lalu mendoakannya.
Pada hari selanjutnya, orang tersebut kembali datang menemui Rasul. Seperti pada pertemuan pertama, Rasul pun menanyakan keadaannya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik," jawab orang tersebut pendek. Rasul hanya diam mendengar jawaban itu. Maka, dengan nada heran orang itu bertanya. "Ya Rasulullah, kemarin engkau menanyakan keadaanku, lalu engkau mendoakanku. Hari ini engkau bertanya kepadaku, tetapi tidak mendoakanku. Mengapa demikian?"
Rasulullah Saw menjawab, "Ketika aku bertanya kepadamu, engkau bersyukur kepada Allah. Sedangkan hari ini aku bertanya, tetapi engkau diam saja, tidak bersyukur kepada-Nya."
KISAH yang dikutip dari buku Kitabusy-Syukur karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad tersebut, secara tersirat sedikitnya ada dua hikmah.
Pertama, kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah, minimal secara lisan. Yakni, mengucapkan hamdalah (ucapan “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”).
Kedua, jawaban pendek orang tersebut, ketika ditanya Rasulullah untuk kedua kalinya, menunjukkan ia lupa bahwa keadaan baik pada dirinya, yakni sehat dan masih diberi umur untuk menikmati hidup ini (kesempatan).
Memang, sehat dan kesempatan adalah dua nikmat dari sekian nikmat dari Allah SWT yang sering dilupakan atau tidak disadari. Akibatnya, orang pun lupa mensyukurinya.
ISHAK bin Abdullah bin Abi Thalhah menceritakan, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki ke hadapan Rasulullah Saw. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rasul kepada orang itu.
"Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah untukmu, wahai Nabi!" jawab orang itu. Mendengar jawaban tersebut, Rasul lalu mendoakannya.
Pada hari selanjutnya, orang tersebut kembali datang menemui Rasul. Seperti pada pertemuan pertama, Rasul pun menanyakan keadaannya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik," jawab orang tersebut pendek. Rasul hanya diam mendengar jawaban itu. Maka, dengan nada heran orang itu bertanya. "Ya Rasulullah, kemarin engkau menanyakan keadaanku, lalu engkau mendoakanku. Hari ini engkau bertanya kepadaku, tetapi tidak mendoakanku. Mengapa demikian?"
Rasulullah Saw menjawab, "Ketika aku bertanya kepadamu, engkau bersyukur kepada Allah. Sedangkan hari ini aku bertanya, tetapi engkau diam saja, tidak bersyukur kepada-Nya."
KISAH yang dikutip dari buku Kitabusy-Syukur karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad tersebut, secara tersirat sedikitnya ada dua hikmah.
Pertama, kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah, minimal secara lisan. Yakni, mengucapkan hamdalah (ucapan “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”).
Kedua, jawaban pendek orang tersebut, ketika ditanya Rasulullah untuk kedua kalinya, menunjukkan ia lupa bahwa keadaan baik pada dirinya, yakni sehat dan masih diberi umur untuk menikmati hidup ini (kesempatan).
Memang, sehat dan kesempatan adalah dua nikmat dari sekian nikmat dari Allah SWT yang sering dilupakan atau tidak disadari. Akibatnya, orang pun lupa mensyukurinya.
"Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yakni kesehatan dan kesempatan" (H.R. Bukhari).
Nikmatnya sehat sering baru terasa pada saat kita sakit. Nikmat bernafas sering baru terasa ketika kita sakit flu atau pilek. Nikmat makan baru terasakan ketika kita dilanda sariawan. Nikmat berjalan normal baru terasa ketika kita sakit karena kaki keseleo.
Kesempatan pun demikian. Nikmat waktu luang sering baru terasakan ketika kita kepepet atau sibuk. Kesempatan terbesar adalah hidup atau masih belum dicabutnya nyawa kita oleh Allah SWT. Syukurilah kesempatan itu dengan menjalani hidup sesuai ketentuan-Nya, beribadah kepada-Nya, selalu beristighfat, tobat, dan lain-lain, sebelum ajal menjemput. Sedang kita tahu, datangnya ajal dapat kapan dan di mana saja.
Nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita, tidaklah terhitung banyaknya. Bahkan, kalau kita mencoba melakukan hitungan itu, tidak akan kita mampu karena banyaknya. "Dan jika kamu (mencoba) menghitung nikmat Allah, pastilah tidak akan mampu melakukannya," demikian firman-Nya (Q.S. 14:34, 16:18).
Mensyukuri nikmat, antara lain dengan cara lisan, yakni mengucapkan hamdalah, alhamdulillah. Seraya dicamkan dalam hati, betapa Mahakasih dan Mahasayangnya Allah. Sedangkan bersyukur dalam bentuk perilaku adalah memperlakukan nikmat yang ada sesuai yang dikehendaki Allah, Sang Pemberi Nikmat.
Nikmat sehat misalnya, tentu saja harus disyukuri dengan menggunakan kesehatan itu dengan giat beribadah kepada-Nya. Juga, termasuk bersyukur, adalah memelihara kesehatan itu. Misalnya dengan berolahraga dan memakan makanana yang halal dan bergizi.
Mensyukuri nikmat sehat pendengaran, penglihatan, dan suasana hati, haruslah disyukuri dengan jalan hanya mendengar, melihat, dan merasakan yang baik-baik dan halal saja menurut aturan Islam. Yaitu berupaya sekuat tenaga hanya melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang tidak membuat kita lupa kepada Allah (dzikrullah), atau menghindari hal-hal yang dapat membuat lupa kepada-Nya dan mendorong kita memperturutkan hawa nafsu syaithoniyah.
Nikmatnya sehat sering baru terasa pada saat kita sakit. Nikmat bernafas sering baru terasa ketika kita sakit flu atau pilek. Nikmat makan baru terasakan ketika kita dilanda sariawan. Nikmat berjalan normal baru terasa ketika kita sakit karena kaki keseleo.
Kesempatan pun demikian. Nikmat waktu luang sering baru terasakan ketika kita kepepet atau sibuk. Kesempatan terbesar adalah hidup atau masih belum dicabutnya nyawa kita oleh Allah SWT. Syukurilah kesempatan itu dengan menjalani hidup sesuai ketentuan-Nya, beribadah kepada-Nya, selalu beristighfat, tobat, dan lain-lain, sebelum ajal menjemput. Sedang kita tahu, datangnya ajal dapat kapan dan di mana saja.
Nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita, tidaklah terhitung banyaknya. Bahkan, kalau kita mencoba melakukan hitungan itu, tidak akan kita mampu karena banyaknya. "Dan jika kamu (mencoba) menghitung nikmat Allah, pastilah tidak akan mampu melakukannya," demikian firman-Nya (Q.S. 14:34, 16:18).
Mensyukuri nikmat, antara lain dengan cara lisan, yakni mengucapkan hamdalah, alhamdulillah. Seraya dicamkan dalam hati, betapa Mahakasih dan Mahasayangnya Allah. Sedangkan bersyukur dalam bentuk perilaku adalah memperlakukan nikmat yang ada sesuai yang dikehendaki Allah, Sang Pemberi Nikmat.
Nikmat sehat misalnya, tentu saja harus disyukuri dengan menggunakan kesehatan itu dengan giat beribadah kepada-Nya. Juga, termasuk bersyukur, adalah memelihara kesehatan itu. Misalnya dengan berolahraga dan memakan makanana yang halal dan bergizi.
Mensyukuri nikmat sehat pendengaran, penglihatan, dan suasana hati, haruslah disyukuri dengan jalan hanya mendengar, melihat, dan merasakan yang baik-baik dan halal saja menurut aturan Islam. Yaitu berupaya sekuat tenaga hanya melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang tidak membuat kita lupa kepada Allah (dzikrullah), atau menghindari hal-hal yang dapat membuat lupa kepada-Nya dan mendorong kita memperturutkan hawa nafsu syaithoniyah.
Semoga kita terbiasa menjawab pertanyaan "Apa Kabar" dengan "Baik, Alhamdulillah" --sekaligus dzikir kepada Allah Yang Maha Pemberi Nikmat dan Kebaikan. Amin...! Wallahu a'lam bish-showabi. (www.risalahislam.com).*
Tags:
Akhlak