Hakikat Bekerja Menurut Pandangan Islam

Pada tanggal satu Mei sering diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Hampir bisa dipastikan setiap tahun selalu dirayakan bahkan tidak sedikit juga dijadikan moment untuk menuntut hak-hak buruh kepada penguasa. Indonesia adalah negara besar dengan dua juta lebih jumlah penduduk dan lebih dari 85 % penduduk adalah penganut agama Islam. Dari sejumlah 85 % angkat tersebut, lebih dari 50 % adalah buruh yang terdiri dari buruh pabrik, buruh lepas, buruh tani, buruh pasar, buruh nelayan dan lain-lain. Sehingga artinya, ketika  bicara soal hak buruh di Indonesia maka secara otomatis  sedang membicarakan hak-hak kaum muslimin di Indonesia.

Islam Dan Kewajiban Bekerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Upah yang didapat inilah yang dijadikan sebagai nafkah untuk diri dan keluarganya. Kewajiban memenuhi kebutuhan hidup, Allah SWT letakan dalam setiap pundak kaum muslimin yang baligh terlebih bagi seorang laki-laki yang telah berumah tangga. Banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan kaum muslimin untuk bekerja;  وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا  {Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan. (QS. An. Naba; 11}.  Dalam surat lain lebih tegas lagi; وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ  {Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan menguasakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih. {QS. Al-Araf; 10}. Bahkan orang yang mencari nafkah dikatagorikan sedang jihad fi sabilillah;
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»
Dari Ka'ab Ibn Ujrah berkata; Seorang laki-laki melewati Rasulullah saw dan para sahabat. Para sahabat melihat kulit orang yang lewat tadi dan  kesibukan (sehari-hari)nya   membuat mereka  takjub, kemudian berkata, "Ya Rasulullah Seandainya  itu berada di jalan jihad fi sabilillah?". Rasulullah saw menjawab, "Kalau seseorang keluarnya (dari rumahnya) untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk mengurus kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta kepada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megah, maka itulah fi sabilisy syaithan (jalan syaithan).  {Mu'jamul Ausath At-Thabrani}.  


Buruh Dalam Islam
Islam datang pada suatu zaman yang penuh dengan kedzaliman, penindasan, ketidakadilan, karakter kekuasaan yang sentralistik dan feodalistik, dan ketimpangan ekonomi yang sedemikian tinggi serta diskriminasi rasial yang kejam. Masyarakat digolongkan ke dalam kelompok-kelompok kecil berbasis pada suku-suku, kabilah bahkan bani-bani. Bani adalah kelompok kecil masyarakat yang berbasis pada klan keluarga. Struktur yang seperti ini memunculkan stratifikasi sosial yang sangat kuat. Muncul satu keluarga yang memiliki status sosial sangat tinggi, tetapi juga ada klan tertentu yang sangat rendah, dan akhirnya kehormatan seseorang ditentukan oleh asal-usul keluarga.
Stratifikasi sosial politik di atas membawa dampak yang serius, perselisihan antar klan dan kabilah seringkali berujung pada peperangan. Stratifikasi sosial yang timpang juga menyebabkan hegemoni ekonomi dari satu bani ke bani yang lain. Hegemoni ekonomi biasanya didasarkan atas penguasaan mereka atas jalur perdagangan, karena memang perdagangan-lah yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat. Sehingga secara massif, masyarakat terpetakan ke dalam dua golongan besar yaitu golongan pedagang dan pekerja. Pekerja tersebut bertugas untuk mengikuti kemanapun majikan menjajakan dagangannya, atau justru menggantikannya menjajakan dagangan. Kaum pekerja yang lain adalah para budak yang sama sekali tidak memiliki hak dan hanya memiliki kewajiban untuk mengerjakan apapun yang diinginkan oleh majikan.

Bagaimana Rasulullah saw melindungi para pekerja dan kaum buruh/budak di antaranya sebagai berikut;
1.      Pembebasan sistem perbudakan dengan melalui jalan kifarat terhadap dosa yang telah dilakukan. Kifarat Dhihar,  Allah berfirman,  "Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujadilah;3).  Kifarat seorang yang berhubungan dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan, Rasulullah saw bersabda, dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Seorang laki-laki datang menghadap Nabi saw dan berkata, "Celaka diriku wahai Rasulullah." Beliau bertanya: "Apa yang telah mencelakakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Saya telah menggauli isteriku di siang hari pada bulan Ramadlan." Beliau bertanya: "Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak?"… (HR. Muslim). Kifarat dari pembunuhan tanpa sengaja; Allah SWT berfirman, Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),.." (QS. An Nisa 92).
2.      Rasulullah saw berusaha membangkitkan perekonomian umat Islam dengan menganjurkan para sahabat membeli barang dari sesama muslim dan mempekerjakan saudaranya yang seiman. Sebagai upaya mengalahkan dominasi Yahudi di Madinah pada saat awal hijrah, Rasulullah saw meningkatkan semangat kerja kaum muslimin dengan mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan ashar. Berupa sinergitas antara pemilik modal dan pekerja. Diharap setiap muslim mampu mandiri, tidak berharap kepada orang lain.
3.      Menjamin kebutuhan hidup pekerja dan memperlakukannya secara manusiawi. Nabi Muhammad saw mengingatkan secara keras kepada para majikan untuk tidak memberikan beban kerja melebihi kemampuan para pekerjanya. Nabi bersabda : ”Sesungguhnya saudara-saudaramu yang menjadi  buruhmu, yang (karena) Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya dari sesuatu yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari sesuatu yang ia pakai, serta janganlah ia membebani mereka sesuatu yang tidak mampu dijalankan oleh mereka. Jika engkau terpaksa membebani mereka sesuatu yang memberatkan mereka maka bantulah mereka”(HR. Bukhari no.29)
4.      Haram menanguhkan pembayaran, Rasulullah saw bersabda “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).

5.      Setiap majikan hendaknya sadar bahwa rejekinya hasil dari jerih payah orang-orang lemah yang ada di antara mereka. Dari Abu Darda` dia berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku berharap kalian memperhatikan orang-orang lemah diantara kalian, karena kalian diberi rizki dan kemenangan disebabkan oleh orang-orang lemah kalian."  (HR. Ahmad 20738)
Islam berusaha meningkatkan derajat para pekerja karena hakikatnya mereka sedang beribadah. Maka semboyan bekerja adalah ibadah sebaiknya menjadi motto  kaum muslimin. ***


Previous Post Next Post